tanggal 27 februari 2015
Semiotika berasal dari kata Yunani: semeion,
yang berarti tanda. Dalam pandangan Piliang, penjelajahan semiotika
sebagai metode kajian ke dalam berbagai cabang keilmuan ini dimungkinkan
karena ada kecenderungan untuk memandang berbagai wacana sosial sebagai
fenomena bahasa. Dengan kata lain, bahasa dijadikan model dalam
berbagai wacana sosial. Berdasarkan pandangan semiotika,
bila seluruh praktek sosial dapat dianggap sebagai fenomena bahasa,
maka semuanya dapat juga dipandang sebagai tanda. Hal ini dimungkinkan
karena luasnya pengertian tanda itu sendiri (Piliang, 1998:262).
Semiotika
menurut Berger memiliki dua tokoh, yakni Ferdinand de Saussure
(1857-1913) dan Charles Sander Peirce (1839-1914). Kedua tokoh tersebut
mengembangkan ilmu semiotika secara terpisah dan tidak mengenal satu
sama lain. Saussure di Eropa dan Peirce di Amerika Serikat. Latar
belakang keilmuan adalah linguistik, sedangkan Peirce filsafat. Saussure
menyebut ilmu yang dikembangkannya semiologi (semiology).
Semiologi
menurut Saussure seperti dikutip Hidayat, didasarkan pada anggapan
bahwa selama perbuatan dan tingkah laku manusia membawa makna atau
selama berfungsi sebagai tanda, harus ada di belakangnya sistem
perbedaan dan konvensi yang memungkinkan makna itu. Di mana ada tanda di
sana ada sistem (Hidayat, 1998:26).
Sedangkan Peirce menyebut ilmu yang dibangunnya semiotika (semiotics). Bagi Peirce yang ahli filsafat dan logika, penalaran manusia senantiasa dilakukan lewat tanda. Artinya, manusia hanya dapat bernalar lewat tanda. Dalam pikirannya, logika sama dengan semiotika dan semiotika dapat ditetapkan pada segala macam tanda (Berger, 2000:11-22). Dalam perkembangan selanjutnya, istilah semiotika lebih populer daripada semiologi.
Sedangkan Peirce menyebut ilmu yang dibangunnya semiotika (semiotics). Bagi Peirce yang ahli filsafat dan logika, penalaran manusia senantiasa dilakukan lewat tanda. Artinya, manusia hanya dapat bernalar lewat tanda. Dalam pikirannya, logika sama dengan semiotika dan semiotika dapat ditetapkan pada segala macam tanda (Berger, 2000:11-22). Dalam perkembangan selanjutnya, istilah semiotika lebih populer daripada semiologi.
Semiotika
adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda (sign), berfungsi tanda, dan
produksi makna. Tanda adalah sesuatu yang bagi seseorang berarti
sesuatu yang lain. Dalam pandangan Zoest, segala sesuatu yang dapat
diamati atau dibuat teramati dapat disebut tanda. Karena itu, tanda
tidaklah terbatas pada benda. Adanya peristiwa, tidak adanya peristiwa,
struktur yang ditemukan adalah sesuatu, suatu kebiasaan, semua ini dapat
disebut benda. Sebuah bendera kecil, sebuah isyarat tangan, sebuah
kata, suatu keheningan, suatu kebiasaan makan, sebuah gejala mode, suatu
gerak syaraf, peristiwa memerahnya wajah, suatu kesukaan tertentu,
letak bintang tertentu, suatu sikap, setangkah bunga, rambut uban, sikap
diam membisu, gagap. Bicara cepat, berjalan sempoyongan, menatap, api,
putih, bentuk bersudut tajam, kecepatan, kesabaran, kegilaan,
kekhawatiran, kelengahan semuanya itu dianggap sebagai tanda (Zoest,
1993:18).
Menurut
Saussure, seperti dikutip Pradopi (1991:54) tanda sebagai kesatuan dari
dua bidang yang tidak dapat dipisahkan seperti halnya selembar kertas.
Di mana ada tanda di sana ada sistem. Artinya, sebuah tanda (berwujud
kata atau gambar) mempunyai dua aspek yang ditangkap oleh indra kita
yang disebut dengan signifier, bidang penanda atau bentuk dan aspek
lainnya yang disebut signified, bidang petanda atau konsep atau makna.
Aspek kedua terkandung di dalam aspek pertama. Jadi petanda merupakan
konsep atau apa yang dipresentasikan oleh aspek pertama.
Lebih
lanjut dikatakannya bahwa penanda terletak pada tingkatan ungkapan
(level of expression) dan mempunyai wujud atau merupakan bagian fisik
seperti bunyi, huruf, kata, gambar, warna, obyek, dan sebagainya.
Pertanda
terletak pada level of content (tingkatan isi atau gagasan) dari apa
yang diungkapkan melalui tingkatan ungkapan. Hubungan antara kedua unsur
melahirkan makna.
Tanda akan selalu mengacu pada (mewakili) sesuatu hal (benda) yang lain yang disebut reerent. Lampu merah mengacu pada jalan berhenti. Wajah cerah mengacu pada kebahagiaan. Air mata mengacu pada kesedihan. Apalagi hubungan antara tanda dan yang diacu terjadi, maka dalam benak orang yang melihat atau mendengar akan timbul penertian (Eco, 1979:59).
Tanda akan selalu mengacu pada (mewakili) sesuatu hal (benda) yang lain yang disebut reerent. Lampu merah mengacu pada jalan berhenti. Wajah cerah mengacu pada kebahagiaan. Air mata mengacu pada kesedihan. Apalagi hubungan antara tanda dan yang diacu terjadi, maka dalam benak orang yang melihat atau mendengar akan timbul penertian (Eco, 1979:59).
Menurut
Piere, tanda (representamen) ialah sesuatu yang dapat mewakili sesuatu
yang lain dalam batas-batas tertentu (Eco, 1979:15). Tanda akan selalu
mengacu ke sesuatu yang lain, oleh Pierce disebut obyek (denotatum). Ke
sesuatu yang lain, oleh Pierce disebut obyek (denotatum). Mengacu
berarti mewakili atau menggantikan. Tanda baru dapat berfungsi bila
diinterpretarikan dalam benak penerima tanda melalui interpretant. Jadi
interpretant ialah pemahaman makna yang muncul dalam diri penerima
tanda. Aritnya, tanda baru dapat berfungsi sebagai tanda bila dapat
ditangkap dan pemahaman terjadi berkat ground, yaitu pengetahuan tentang
sistem tanda dalam suatu masyarakat. Hubungan ketiga unsur yang
dikemukakan Pierce terkenal dengan nama segi tiga semiotik.
Selanjutnya
dikatakan, tanda dalam hubungan dengan acuannya dibedakan menjadi tanda
yang dikenal dengan ikon, indeks, dan simbol.
ikon
adalah tanda yang antara tanda dengan acuannya ada hubungan kemiripan
dan biasa disebut metafora. Contoh ikon adalah potret. Bila ada hubungan
kedekatan eksistensi, tanda demikian disebut indeks. Tanda seperti ini
disebut metonimi. Contoh indeks adalah tanda panah petunjuk arah bahwa
di sekitar tempat itu ada bangunan tertentu. Langit berawan tanda hari
akan hujan, simbol adalah tanda yang diakui keberadaannya berdasarkan
hukum konvensi. Contoh simbol adalah bahasa tulisan.
Ikon,
indeks, simbol merupakan perangkat hubungan antara dasar (bentuk),
objek (referent) dan konsep (interpretant atau reference). Bentuk
biasanya menimbulkan persepsi dan setelah dihubungkan dengan obyek akan
menimbulkan interpretan. Proses ini merupakan proses kognitif dan
terjadi dalam memahami pesan iklan.
Rangkaian
pemahaman akan berkembang terus seiring dengan rangkaian semiosis yang
tidak kunjung berakhir. Selanjutnya terjadi tingkatan rangkaian
semiosis. Interpretan ada rangkaian semiosis lapisan pertama, akan
menjadi dasar untuk mengacu pada objek baru dan dari sini terjadi
rangkaian semiosis lapisan kedua. Jadi, apa yang berstatus sebagai tanda
pada lapisan pertama berfungsi sebagai penanda pada lapisan kedua, dan
demikian seterusnya.
Terkait
dengan itu, Barthes seperti dikutip Iriantara dan Ibrahim
(2005:118:119) mengemukakan teorinya tentang makna konotatif. Ia
berpendapat bahwa konotasi dipakai untuk menjelaskan salah satu dari
tiga cara kerja tanda dalam tatanan pertandaan kedua. Konotasi
menggambarkan interaksi yang berlangsung tatkala tanda bertemu dengan
perasaan atau emosi penggunaannya dan nilai-nilai kulturalnya. Ini
terjadi tatkala makna bergerak menuju subjektif atau setidaknya
intersubjektif. Semuanya itu berlangsung ketika interpretant dipengaruhi
sama banyaknya oleh penafsir dan objek atau tanda.
Bagi
barthes, faktor penting dalam konotasi adalah penanda dalam tatanan
pertama. Penanda tatanan pertama merupakan tanda konotasi. Jika teori
itu dikaitkan dengan desain komunikasi visual (DKV), maka setiap pesan
DKV merupakan pertemuan antara signifier (lapisan ungkapan) dan
signified (lapisan makna). Lewat unsur verbal dan visual (non verbal),
diperoleh dua tingkatan makna, yakni makna denotatif yang didapat pada
semiosis tingkat pertama dan makna dekatan semiotik terletak pada
tingkat kedua atau pada tingkat signified, makna pesan dapat dipahami
secara utuh (Barthes, 1998:172-173).
Mengingat
DKV mempunyai tanda terbentuk bahasa verbal dan visual, serta merujuk
bahwa teks DKV dan penyajian visualnya juga mengandung ikon terutama
berfungsi dalam sistem-sistem non kebahasaan untuk mendukung pera
kebahasaannya, maka pendekatan semiotik terhadap DKV layak diterapkan.
Konsep
dasar semiotik yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada Roland
Brahes yang berangkat dari pendapat Ferdinand de Saussure. Pendekatan
ini menekankan pada tanda-tanda yang disertai maksud (signal) serta
berpijak dari pandangan berbasis pada tanda-tanda yang tanpa maksud
(sympton) karya desain komunikasi visual mempunyai tanda yang ber-signal
dan ber-symptom, dan dalam memaknai makna karya DKV harus mengamati
ikon, indeks, simbol dan kode yang menurut Barthes adalah cara
mengangkat kembali fragment-framgment kutipan (Zoest, 1993:39-42).
Sebab
esensi membongkar makna karya DKV dapat dilihat dari adanya hubungan
antara gejala struktural yang diungkapkan oleh tanda dan gejala yang
ditunjukkan oleh acuannya. Hasilnya akan dapat dilihat dan diketahui
bagaimana tanda-tanda tersebut berfungsi.
Semiotika
adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda. Tanda-tanda tersebut
menyampaikan suatu informasi sehingga bersifat komunikatif. Ia mampu
menggantikan sesuatu yang lain yang dapat dipikirkan atau dibayangkan.
Cabang ilmu ini semula berkembang dalam bidang bahasa, kemudian
berkembang pula dalam bidang seni rupa dan desain komunikasi visual.
Sementara
itu, Charles Sanders Pierce, menandaskan bahwa kita hanya dapat
berpikir dengan medium tanda. Manusia hanya dapat berkomunikasi lewat
sarana tanda.
Tanda dalam kehidupan manusia bisa tanda gerak atau isyarat. Lambaian tangan yang bisa diaritkan memanggil atau anggukan kepala dapat diterjemahkan setuju. Tanda bunyi seperti tiupan peluit, terompet, genderang, suara manusia, dering telepon, tanda tulisan, di antaranya huruf dan angka juga tanda gambar berbentuk rambu lalu lintas, dan masih banyak ragamnya (Noth, 1995:44)
Tanda dalam kehidupan manusia bisa tanda gerak atau isyarat. Lambaian tangan yang bisa diaritkan memanggil atau anggukan kepala dapat diterjemahkan setuju. Tanda bunyi seperti tiupan peluit, terompet, genderang, suara manusia, dering telepon, tanda tulisan, di antaranya huruf dan angka juga tanda gambar berbentuk rambu lalu lintas, dan masih banyak ragamnya (Noth, 1995:44)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar