Minggu, 11 Januari 2015

pengetahuan tentang multimedia



Camera Angle, Berbagai Sudut Pengambilan Gambar
Camera Angle atau sering disebut sebagai sudut pengambilan gambar dengan kamera, merupakan salah satu cara yang dilakukan untuk menyampaikan pesan melalui penempatan kamera pada sudut dan ketinggian tertentu. Camera Angle bukan hanya masalah teknis semata, dengan menempatkan kamera dari sudut pandang yang tepat, maka akan mampu berbicara banyak hal dan menghasilkan nilai dramatik dalam sebuah adegan yang dapat mempengaruhi emosi penonton.
Secara umum Camera Angle dalam pengambilan gambar dapat dibagi menjadi tiga yaitu :
  1. High Angle.
High Angle (bird Eye View) merupakan sudut pengambilan gambar yang dilakukan dengan menempatkan kamera lebih tinggi dari subyek yang diambil gambarnya. Pengambilan gambar bisa dari belakang, depan maupun samping. Tiga sudut pandang yang umum digunakan dalam pengambilan shot ini diantaranya (a) High angle shot, (b) Very high angle shot dan (c) Overhead shot (top angle).

Dengan menggunakan high angle subyek dapat dicitrakan tidak mempunyai kekuatan, terkesan lebih kecil, menjadi lemah, merasa tertekan, kesedihan yang mendalam, inferior, maupun hal lain yang bersifat minor. Subyek-subyek dalam shot ini contohnya seorang terdakwa dalam sebuah persidangan, orang yang dieksekusi mati,  orang sakit dan lain sebagainya.
Selain digunakan untuk melemahkan posisi subyek, pegambilan gambar dengan high angle juga bisa digunakan untuk menciptakan kesan yang luas pada sebuah area.


Pengambilan gambar high angle dapat menggunakan peralatan portal jib, jimmyjib, helicam, crane atau dengan alat apapun asal kamera dapat diposisikan lebih tinggi dari subyek.
  1. Normal Angle
Normal Angle (Stright Angle/Chest Level/Eye Level) merupakan teknik pengambilan gambar yang memposisikan kamera sejajar secara horisontal dengan ketinggian subyek, bisa setinggi dada ataupun setinggi penglihatan subyek.



Pengambilan gambar Normal Angle banyak digunakan pada adegan-adegan yang standar, baik saat dialog dalam film fiksi maupun pada saat wawancara pada film dokumenter.
  1. Low Angle
Low Angle (Frog Eye View) merupakan teknik pengambilan gambar yang memposisikan kamera berada lebih rendah secara horisontal dari subyek yang akan dibidik. Tiga sudut pandang yang umum digunakan dalam pengambilan shot ini diantaranya (a) Low Angle Shot, (b) Very low angle shot dan (c) botom angle

low angle shot
Pengambilan gambar dengan Low Angle biasa digunakan untuk memberi kesan lebih kuat, berkuasa, kokoh dan superior. Subyek gambar bisa berupa manusia, binatang, arsitektur atau apapun. Pada beberapa kasus, pengabilan gambar dengan teknik ini biasa diambil untuk subyek raja agar tampak berwibawa, bangunan istana yang megah, dan lain sebagainya.



Sutradara
Sutradara atau pembuat film adalah orang yang bertugas mengarahkan sebuah film sesuai dengan manuskrip, pembuat film juga digunakan untuk merujuk pada produser film. Manuskrip skenario digunakan untuk mengontrol aspek-aspek seni dan drama. Pada masa yang sama, sutradara mengawal petugas atau pekerja teknik dan pemeran untuk memenuhi wawasan pengarahannya. Seorang sutradara juga berperan dalam membimbing kru teknisi dan para pemeran film dalam merealisasikan kreativitas yang dimilikinya.
Tanggung jawab
Sutradara bertanggung jawab atas aspek-aspek kreatif pembuatan film, baik interpretatif maupun teknis. Ia menduduki posisi tertinggi dari segi artistik dan memimpin pembuatan film tentang "bagaimana yang harus tampak" oleh penonton. Selain mengatur laku di depan kamera dan mengarahkan akting serta dialog, sutradara juga mengontrol posisi beserta gerak kamera, suara, pencahayaan, dan hal-hal lain yang menyumbang kepada hasil akhir sebuah film.
Dalam melaksanakan tanggung jawabnya seorang sutradara bekerja bersama para kru film dan pemeran film. Di antaranya penata fotografi, penata kostum, penata kamera dan lain sebagainya. Selain itu sutradara juga turut terlibat dalam proses pembuatan film mulai dari pra-produksi, produksi, hingga pasca-produksi.



Semiotika, Bahasa dan Karya Sastra
Peranan semiotika dalam mengungkap tanda-tanda dari kebudayaan manusia sangat besar. Semiotika mampu memberikan interpretasi yang sangat penting bagi perkembangan suatu kebudayaan masyarakat. Semiotika adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda. Saussure menyatakan bahwa “semiology is a science which studies the role of signs as part of social life. Sebagai ilmu yang mepelajari tentang makna tanda, semiotika memiliki cakupan yang sangat luas. Karena itulah dalam buku ini juga dibahas mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan tanda.
Semiotika bisa dikatakan sebagai satu-satunya alat yang bisa mengungkap apa yang ada dalam tanda-tanda itu. Dalam buku ini disebutkan bahwa semiotika dianggap sebagai kartu AS dalam menelaah budaya. Dengan semiotika orang akan mengetahui segala persoalan budaya yang dihadapi dalam pergulatan sosial.
Barthers berkeyakinan bahwa semiotika merupakan kekuatan eksentrik budaya modern. Eksentrik bukan hanya dalam arti “aneh” (sekalipun mungkin terasa aneh) namun lebih dalam arti kekuatan kritik dari ”luar”. (Sunardi, Semiotika Negativa, p. 4 ).

Semiotika akan menjadi semacam kursi roda, kartu As dalam pengethuan wacana. (Sunardi, Semiotika Negativa, p. 4).

Produk budaya modern yang sangat nyata dan penuh dengan tanda-tanda sosial adalah karya sastra. Karya sastra merupakan cerminan dari masyarakatnya, oleh karena itu karya sastra memiliki makna simbolis yang perlu diungkap dengan model semiotika. Sebagai karya yang bermediakan bahasa, karya sastra memiliki bahasa yang sangat berbeda dengan bahasa yang lazim digunakan dalam kehidupan sehari-hari maupun karya ilmiah. Bahasa dalam sastra menggunakan gaya bahasa tersendiri. Disini disebutkan bahwa bahasa merupakan dimensi horisontal dan gaya adalah dimensi vertikal. Sebagai lingkungan keniscayaan, bahasa dan gaya menghasilkan Nature atau kodrat bagi seorang penulis. Jadi bahasa dan gaya merupakan suatu objek (dalam arti Gegendstand) ((p. 11).
Bahasa memiliki kekuatan yang luar biasa dalam kehidupan manusia. Bahasa merupakan pranata sosial yang di dalamnya terkandung sistem nilai. Oleh karena itu bahasa merupakan bagian terbesar dari telaah semiotika. Bahasalah yang menjadikan manusia berbeda dengan makhluk lain. Dengan bahasa manusia mampu berkomunikasi dan berintaraksi dengan sesamanya. Bahasa itulah yang telah menjebatani lahirnya berbagai kemajuan yang ada dalam kebudayaan manusia. Disinilah lahir konsep setrukturalisme antropologis yang mempercayai bahasa yang digunakan dalam suatu komunitas menggambarkan kondisi komunitas itu sendiri.
Dalam karya sastra, seorang penulis dianggap memiliki otonomi. Penulis memiliki kebebasan menggunakan gaya bahasa yang dipilih sesuai dengan yang dikehendaki tampa harus mempertimbangkan kehendak dari luar dirinya. Karena kebebasannya inilah maka seorang pengarang mampu memberikan pandangan dan gagasannya secara leluasa tanpa harus merasa khawatir terhadap tatabahasa yang digunakannya. Dengan demikian apa yang dituliskan dalam karya sastra seorang pengarang tentu memiliki harapan dan tujuan yang bersifat pribadi pula. Dari sinilah lahir suatu sudut pandang yang hendak ditanamkan oleh seorang pengarang kepada pembacanya. Dengan demikian tidak menutup kemungkinan karya sastra membawa idelogi dari sang penulis. Sebagai kiasan disebutkan sebagai peberikut;
Sastra ibarat cahaya yang menembus bidang-bidang yang masih gelap namun perlu didalami. Tetapi sastra juga bisa membuat hal-hal yang tak absurd menjadi lebih bisa diterima-sekalipun tidak intelligible. (Sunardi, Semiotika Negativa, p. 17).

Keotonomian pengarang dalam mengolah karya sastra, menjadikan muatan yang ada dalam karya sastra menjadi sangat subjektif. Dalam arti apa yang diyakini oleh pengarang akan tercermin dan akan terefleksikan dalam karya sastranya. Termasuk bahasa dan gaya yang digunakan dalam menyampaikan gagasan melalui karyanya. Dengan cara yang demikian, sastra mampu memberikan keterangan terhadap suatu persolan sangat sulit diungkap dengan kata-kata di luar karya sastra. Lotman (1970:21) mengatakan bahwa “Literature posesses an exclusive, inherent system of signs (...) which serve to transmit special messages, nontransmittable by other means.

Bahasa, budaya, dan Ideologi
Seperti yang sudah disebutkan di atas, kebebasan yang dimiliki oleh seorang penulis membawa pada lahirnya suatu pemikiran atau lebih luasnya ideologi. Ideologi yang dibawa oleh sebuah karya sastra akan merubah pola pikir, sudut pandang dan sampai pada perilaku masyarakat sebagai penikmat karya sastra. Oleh karena itu keterkaitan antara bahasa, budaya dan ideologi tidak bisa dipisahkan. Ketiganya akan saling terkait. Bahasa sebagai salah satu media terpenting dalam budaya manusia melahirkan suatu konsep yang dinamakan dengan ideologi. Hal itu juga yang tertuang dalam media massa modern yang saat ini sedang mengalami perkembangan sangat pesat. Seperti yang disebutkan Lipovetsky dalam tulisan berikut ini
“In the past few years, several social thinkers in France and Italy have confronted the reign of mass culture as largely and searchingly as possible, while we in the English-speaking world have tended to narrow this subject to violence on television, the sexual ethics of rock stars, or the vices and virtues of an urban landscape increasingly resembling Desneyland”. (Sunardi, Semiotika Negativa, p. 28).
Dari paparan di atas dapat kita simpulkan bahwa aktivitas membaca sebuah karya merupakan proses untuk menghasilkan sesuatu. Jadi pembaca karya sastra bukan semata-mata untuk sekedar menikmati karya, tetapi dari situlah akan melahirkan pemikiran yang distimuli oleh karya yang sudah dibacanya. Dengan demikian membaca bukan mencari struktur, melaikan merestrukturasi. Membaca juga bukan sekedar mengonsumsi tetapi untuk memproduksi tek kembali. Karena perananya yang begitu besar dalam mempengaruhi pembaca, maka tugas penulis bukan sekedar menulis begitu saja. Tetapi seorang penulis atau pengarang meliki tugas untuk melahirkan keinginan yang kuat dari pembaca untuk membaca tulisannya.

Sistem tanda dalam semiotika
Tanda dapat ditemukan dalam ekpresi yang terungkap dalam aktivitas manusia. Dari aktivitas komunikasi manusia akan terdapat perbedaan (kejanggalan). Perbedaan dalam suatu proses komunikasi inilah yang disebut tanda. Dengan demikian, suatu sistem tanda dapat menghasilkan makna karena prisip perbedaan (difference). Dengan demikian makna suatu tanda bukanlah terjadi secara alamiah melainkan dihasilkan dari lewat sistem tanda yang dipakai dalam kelompok orang tertentu (p. 53).
Untuk memudahkan pemahaman kita akan hubungan simbolis mengenai tanda dapat diperhatikan gagasan Saussure mengenai tiga gagasan dalam semiotika. Yaitu; simbolik, paradigmatik dan sintagmatik. Hubungan simbolik adalah hubungan tanda dengan dirinya sendiri (hubungan internal). Hubungan paradigmatik adalah hubungan tanda dengan tanda lain dari satu sistem atau satu kelas. Sedangkan hubungan sintagmatik adalah hubungan tanda dengan tanda lain dari satu struktur. Hubungan paradigmatik dan sintagmatik ini disebut juga hubungan ekternal. Sedangkan hubungan simbolik disebut juga sebagai koordinat simbolik sedangkan dua yang terakhir koordinat klasifikasi atau koordinat taksonomik. (p. 54).
Makna tanda dalam kehidupan masyarakat sebenarnya sangat signifikan. Tanda-tanda ini bahkan menghiasi segala gerak individu dalam masyarakat. Barthes menyatakan bahwa tanda simbolik memenuhi kebutuhan manusia akan pengalaman metafisis, otentisitas, kemutlakan, dan keabadian. Pribadi yang kaya dengan tanda-tanda simbolik akan merasa solid, dan masyarakat yang disatukan dengan hubungan simbolik memperarat atau menyatukan keanekaragaman. Kesadaran simbolik berguna untuk mengintegrasikan antara yang lahir dan yang batin, tampak dan tidak tampak, permukaan dan dasar. (Sunardi, Semiotika Negativa, p. 61).
Pendekatan semiotika bersifat struktural karena semiotika mengasumsikan adanya hirarki sistem tanda. Struktur inilah yang akan menjadi media kita menemukan perbedaan-perbedaan itu. Berbicara mengenai struktur kita tidak bisa lepas dari konsep struktur Levi Strauss mengenai konsep struktur tanda. Struktur tanda yang dimaksud adalah; petama, linguistik struktural bergeser dari kajian gejala linguistik yang disadari ke kajian infrastruktur tak-sadar. Kedua, linguistik struktural tidak memperlakukan terms (istilah) sebagai entitas independen melainkan mengangkatnya sebagai landasan analisis untuk mendapatkan hubungan antar-term. Ketiga, linguistik struktural memasukkan konsep sistem linguistik modern tidak hanya menyatakan bahwa fonem selalu merupakan bagian dari suatu sistem; fonetik menunjukkan sistem fonetik yang konkret dan menunjukkan strukturnya. Dengan demikian linguistik struktural bertujuan menyingkapkan hukum umum, entah dengan induksi atau dengan deduksi logis, yang dapat menunjukan ciri absolutnya. (p. 95).

Mitos dan ideologi
Setelah memahami arah penelitian semiotika dan struktur tanda dalam semiotika, pembahasan fokus pada mitos. Mitos berasal dari bahasa Yunani yakni Mutos, yang berarti cerita. (Sunardi, Semiotika Negativa, p. 103). Mitos biasanya menunjukan cerita yang belum tentu benar. Dengan kata lain mitos merupakan cerita buatan yang tidak mempunyai kebenaran historis. Meskipun demikian, cerita semacam itu tetap memiliki kekuatan oleh karena itu tetap dibutuhkan oleh manusia. Dengan adanya mitos manusia dapat memahami lingkungan dan dirinya.
Sebagai sistem semiotik, mitos dapat diuraikan ke dalam tiga unsur, yakni; sigifier, signified, dan sign. Atau istilah lain yang digunakan oleh Barthes adalah form, concept, dan signification. Form sejajar dengan signifier, concept dengan signified, dan signification dengan sign. Untuk menghasilkan sistem mitis, sistem semiotik tingkat dua mengambil seluruh sistem tanda tingkat pertama sebagai signifier atau form. Sign diambil oleh sistem tingkat dua menjadi form. Adapun concept diciptakan oleh pembuat atau pengguna mitos. Sign yang diambil untuk dijadikan form diberinama lain, yaitu meaning karena kita mengetahui tanda hanya dari maknanya. Ini berarti satu kaki meaning beradiri di atas tingkat kebahasaan (sebagai sign), satu kaki yang lain di atas tingkat sistem mitis (sebagai form).
Teori mitos dikembangkan Barthes untuk melakukan kritik atas ideologi budaya massa (budaya media). Karena dalam perkembangannya mitos bukan hanya berkaitan dengan cerita-cerita yang tidak logis. Mitos berkembang dalam kontek yang lebih modern. Dalam bukunya Mythology (1983) Barthes menyebutkan bahwa mitos bisa dalam bentuk fotografi, sinema, reportasi, olahraga, pertunjukan, pulbikasi yang mendukung wacana mitis. Untuk itu mitos yang ditelaah dalam buku ini juga mitos yang terdapat dalam media massa. Roland Barthes menyatakan media massa memiliki makna mitologi yang tersebar di masyarakat. Dengan mengangkat media massa sebagai kajian, Barthes memeriksa bentuk-bentuk mitos yang kita temukan dalam media massa dan muatan ideologis yang ada di dalammya.
Kekuatan mitos sangat besar dalam masyarakat. Oleh karena itu mitos tidak dapat dilawan secara frontal. Kalau hal ini dilakukan, kita akan menjadi mangsa mitos. Mitos harus dilawan dengan mitos baru. Mitos baru ini dibuat berdasarkan mitos-mitos yang sudah ada. Inilah komunikasi kreatif yang diidealkan Barthes. (Sunardi, Semiotika Negativa, p. 102).
Contoh produk budaya yang mengandung mitos modern, dapat kita pelajari dari contoh yang diberikan Roland Barthes berkut ini. Barthes menafsirkan gambar foto seorang anak kulit hitam dengan seragam tentara Perancis yang sedang menghormat sebuah bendera Perancis. Gambar ini ditafsirkan sangat mendalam dalam telaah semiotikanya. Foto/serdadu negro itu adalah form, tafsiran “kebesaran imperium Negara Perancis” kita sebut dengan concept, sedangkan signification dalam kedua hal ini adalah keseluruhan sistem tanda tentang kebesaran Perancis atau mitos kebesaran Perancis. Foto inilah yang secara langsung mampu menyampaikan konsepsi mengenai negara Perancis, meskipun kita tidak membaca uraian tertulis dari foto itu.
Deformasi terjadi karena konsep dalam mitos terkait erat dengan kepentingan pemakai atau pembuat mitos (yaitu kelompok masyarakat tertentu). Dilihat dari proses signification, mitos berarti menaturalisasikan konsep (maksud) yang historis dan meng-historisasi-kan sesuatu yang intensional. (Sunardi, Semiotika Negativa, p. 113). Oleh karena itulah mitos dibuat bukannya tanpa maksud melainkan intensional. Mitos dibuat dengan tujuan tertentu. Seperti gambar foto seorang negero di atas. Gambar itu dipilih oleh Said yang sedang membahas hubungan antara imperialisme dan budaya. Disitu tentu terkandung maksud tertentu dari si penulis dalam menggunakan foto itu sebagai kover bukunya.
***
Berdasarkan kesadaran akan tujuan dari dibuatnya suatu mitos. Maka pembahasan ini tentu dikaitkan dengan kepentingan pembuat mitos. Lebih jauh lagi pembahasan mitos berkaitan dengan ideologi. Dalam analisis ideologi secara semiotik, Barthes menyarankan agar kita melakukan pendekatan campuran, yaitu semiologi dan ideologi. Akan tetapi ia memperingatkan bahwa “ideology has its methods, and so has sociology”. Sejauh ini kita sudah memeriksa metode semiotik. Kita sekarang masih harus memeriksa metode ideologi dan bagaimana menggabungkan dua pendekatan ini agar kita dapat melakukan kritik ideologi secara semiotik.
Gagasan mengenai ideologi sendiri sebenarnya masih sangat kabur. Masing-masing orang terkadang memiliki pengertian yang berbeda. Marx mengartikan ideologi sebagai pengelabuan, Gramsci sebagai “pandangan tentang dunia”, dan Althussser mengatakan bahwa “ideology interpellates the subjects”. (Sunardi, Semiotika Negativa, p. 133). Dari beberapa pendapat ini, yang terdekat dengan mitos adalah pendapat Marx. Sebagaimana kita lihat muatan mitos yang tidak memiliki nilai historis sebenarnya hanya kemampuan si pembuat mitos untuk mengelabuhi masyarakat. Disinilah kemenangan si pembuat mitos yang secakarang mungkin disebut dengan wacana itu. Inilah yang kemudian memungkinkan kita melakukan kajian ideologi baik secara sinkronik maupun diakronik. (Sunardi, Semiotika Negativa, p. 133).
Dengan pandangan demikian, dapat kita pastikan bahwa kemenangan orang-orang modern sekarang adalah pada tataran wacana. Semakin tinggi tingkat kemampuan menciptakan mitos-mitos modern, orang akan survive dalam pergulatan masyarakat modern sekarang ini. Walhasil semua orang berlomba dalam menggaungkan wacana, agar bisa menjadi mitos dalam masyarakat. Seperti gagasan liberalisme. Gagasan ini sebenarnya bentuk dari esensialisme: semua orang bebas asalkan bertindak sesuai dengan posisi dan sifat yang sudah ditentukan. “Ditentukan” yang pada mulanya merupakan peristiwa historis menjadi “ditentukan” dalam waktu mitis. “peristiwa” tidak lagi dipahami secara historis melaikan mitis. (Sunardi, Semiotika Negativa, p. 137). Karena konteknya yang demikian, maka budaya, singkatnya bukan merupakan konsep yang statis melainkan sebuah arena untuk kontes politis dan ideologis yang penuh kegetiran”. (Sunardi, Semiotika Negativa, p. 141).
Singkatnya pemahaman akan mitos akan sangat penting bagi setiap manusia modern. Karena kita tidak akan pernah bisa melawan mitos tanpa melawan dengan mitos baru. Jika kita tidak mengetahui mitos yang berkembang maka kita akan selalu berada dalam ketertindasan. Seperti yang sudah disebutkan di dalam mitos terdapat kekuatan untuk mempengaruhi atau menanamkan suatu kepercayaan yang berarti kekuasaan. Model interaksi seperti inlah yang saat ini terjadi di dalam percaturan masyarakat modern. Semakin kuat mitos yang dikeluarkan makan akan menjadi suatu pegangan dan itulah yang disebut dengan kebudayaan. Dalam kehidupan modern kebudayaan adalah sebuah proses untuk mengaktualisasikan kekuatan kapital.... Jadi ideologi dibedakan dengan gejala kebudayaan. Kalau gejala kebudayaan dapat dikenali cukup lewat bahasa, ideologi harus dikenali lewat wacana (dan untuk mengenali wacana tentu saja harus lewat bahasa karena wacana tidak lain adalah “ a kind of writen word according to a special code”. (Sunardi, Semiotika Negativa, p. 143).

Foto atau gambar
Pembahasan mengenai mitos sudah membawa kita pada kesadaran akan pentingnya pemahaman makna dari mitos. Media massa seperti gambar juga dapat melahirkan gagasan atau sering disebut mitos. Masyarakat modern tidak bisa dilepaskan dari media ini. Segala aktivitas dan bentuk komunikasi sangat berkaitan erat dengan media ini. Terutama sekali adalah media massa yang identik dengan gambar. Media massa setiap hari akan menampilkan foto atau gambar yang mengandung pesan-pesan tertu. Ada beberapa alasan mengapa Barthes membahas persoalan gambar; yang pertama adalah ia ingin mengembangkan sebuah pendekatan struktural untuk membaca foto media. Kedua, Barthes ingin melihat fungsi dan kedudukan gambar dalam pembentukan budaya media (Semiotika Negativa, p. 156).
Tidak berbeda dengan pembahasan kita akan makna mitos, foto atau gambar juga memiliki fungsi ideologis. Gambar memiliki peran penyampai informasi yang terkadang lebih efektif kepada masyarakat. Itulah kenapa foto atau gambar juga sering dianggap sebagai bagian dari propaganda (p. 157). Dalam dunia bisnis gambar sering digabungkan dengan kata-kata. Dalam iklan gambar lebih menekankan pada fungsi memperjelas atau memberikan daya tarik.

Wacana
Pembahasan kedudukan dan fungsi masing-masing komponen dalam buku ini membawa kita pada bentuk produk budaya yang paling kuat. Jika pada awal buku ini dibahas mengenai fungsi bahasa, karya sastra, mitos dan gambar, maka pada bagian akhir buku ini dibahas mengenai wacana. Barthes menyatakan bahwa wacana merupakan produkk budaya yang paling efektif untuk membentuk atau mempengaruhi masyarakat. Wacana dipahami sebagai bahasa imajiner dan satu-satunya media untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat. Karena itu dalam wacana bahasa memiliki makna ganda; yaitu sebagai media penyampai informasi dan juga sebagai pemberi hiburan.
Menurut Barthes, wacana dan bahasa tidak bisa dipisahkan meskipun keduanya memiliki perbedaan. Dalam buku ini disebutkan; language flows out into discourse; discourse flows back into language; they persist one above the other like children topping each other’s fists on baseball bat (p. 234). Dengan kata lain bahasa mengalir dalam wacana dan wacana disedot lagi oleh bahasa. Keduanya saling tarik menarik. Hanya dengan bahasalah kita dapat menyusun wacana. Dan wacana adalah tindakan kita saat kita menggunakan bahasa.
Namun demikian dalam kontek ini Barthes lebih mengutamakan wacana daripada bahasa. Karena wacana menyangkut kebebasan manusia, budaya sebagai ungkapan kebebasan harus dilihat pada wacana. Demikian juga persoalan identitas dan subjektivitas harus dilihat dalam wacana. Wacana dalam kata-kata Barthes, adalah “the realm of the individual moments of language use, of particular ‘utterance’ or ‘messages’ whether spoken or written.” (p. 236). Dapat disimpulkan bahwa manusia sebagai subject, homo loquens, dapat dikenali paling jelas dalam wacana. Di dalam wacana eksistensi manusia modern diakui.
Begitu besarnya peranan bahasa dalam menyusun wacana. Barthes menganggap adanya kekuasaan bahasa dalam wacana. Oleh karena itu wacana dibagi dalam dua hal; yaitu; wacana teroris dan wacana oportunis. Wacana teroris adalah wacana yang muncul hanya karena “kekerasan yang inheren” dalam bahasa atau kata. Karena wacana teroris dibuat dengan menggunakan stereotipe, dalam stereotipe kekuasaan bahasa. Karena bahasa adalah masalah kekuasaan dan wacana adalah persoalan menjalankan kehendak untuk berkukasa. Wacana yang disusun dari stereotipe dapat disebut wacana oportunis.
Membahas mengenai kekuasaan bahasa tentunya kita akan kembali pada keistimewaan karya sastra. Barthes menyatakan untuk menghindarkan diri dari fasisme kekuasaan bahasa salah satunya dengan menggunakan karya sastra. Sastra memungkinkan kita memahami wacana di luar belenggu kekuasaan. Lewat pesona revolusi abadi bahasa. Ia mengatakan sastra merupakan muslihat yang menyembuhkan, strategi untuk menghindar, dan siasat yang dasyat untuk mengelabui. (p. 242).
Ada tiga fungsi sastra yaitu; methasis, mimesis, dan semiosis. Fungsi methasis adalah fungsi sastra untuk memberikan pengetahuan tentang kenyataan. Sastra bisa memberikan tema baru bagi wacana baru pula. Fungsi mimesis adalah fungsi untuk menghadirkan yang tidak mungkin dihadirkan. Fungsi semiosis adalah fungsi sastra untuk menghidupkan tanda (to act signs). Masing-masing fungsi ini bisa disebut juga sebagai fungsi realis, fungsi utopian (representatif), dan fungsi performatif (p. 242-243). Inilah sebenarnya kenapa bahasa dan wacana adalah kekuasaan dan kekuatan.

Kematian author
Jika dalam proses penulisan karya sastra sebelumnya sudah disebutkan bahwa penulis memiliki kebebasan berekpresi. Dalam arti bahwa penulis memiliki kebebasan mengungkap segala hal yang mungkin sulit untuk diungkap dengan media lain. Namun demikian, dalam kaitannya dengan tek yang telah dihasilkannya pengarang tidak memiliki otoritas untuk mempertahankan tek yang telah dibuatnya. Informasi yang telah tertuang dalam tek yang telah dibuat si pengarang akan mengalami perubahan interpretasi ketika dibaca oleh penikmatnya.
Barthes berpendapat bahwa author telah mati (Kematian Author). Dalam konsep ini seorang author sudah tidak memiliki otoritas untuk mempertahankan kandungan teknya. Author hanya sekedar menyampaikan apa yang ada dalam benaknya. Namun keputusan akan makna dari tek yang telah dihasilkan akan sangat tergantung pada kemampuan interpretasi seorang pembaca. Dalam hal ini pembaca sangat bebas memperlakukan dan menafsirkan apa yang sudah ditulis oleh author. Apapun yang dipahami oleh pembaca seutuhnya bisa terlepas dari apa yang dimaksudkan oleh si author.
As institution, the author is dead: his civil status, his biographical person have disappeared; dispossessed, they no longer exercise over his word the formidable paternity whose account literary history, teaching, and public opinion had the responsibility of establishing and renewing; but in the text, in a way, I desire the author: I need his figure (which is neither his representation nor his projection), as he needs mine (except to “prattle”).

Kesimpulan
Setelah membaca secara seksama buku Semiotika Negativa, dapat disimpulkan bahwa maksud dari buku ini adalah memberikan kesadaran kepada kita akan pentingya kita memahami produk budaya masyarakat. Mitos, karya sastra, foto, dan wacana selama ini telah mempengaruhi kehidupan kita secara nyata. Produk budaya yang tadinya kita anggap tidak penting ini ternyata memiliki peranan yang luar biasa dalam mengungkap persoalan-persoalan yang terjadi di dalam pergulatan sosial kita.
Pemahaman kita akan persoalan di atas juga menyadarkan kita akan peranan bahasa yang cukup besar dalam kehidupan manusia. Bahasa bukan sekedar sebagai media berkomunikasi tetapi juga dalam bahasa itu terdapat aspek-aspek budaya yang dimiliki manusia. Mitos, karya sastra dan wacana yang bermediakan bahasa bisa menjadi media untuk mengungkap nilai-nilai budaya yang ada pada suatu masyarakat. Itulah kenapa kita juga mengenal adanya Struralisme Antropologi yang mempelajari sosio-budaya melalui bahasa.



pro·duk·si n 1 proses mengeluarkan hasil; penghasilan: ongkos -- barang; 2 hasil: buku itu merupakan -- nya yg pertama; 3 pembuatan: -- film itu menelan biaya cukup besar;
-- arus produksi massa yg prosesnya melalui sederetan mesin yg masing-masing hanya menyelesaikan sebagian kecil dr proses; -- berat hidup Tern produksi ternak dr suatu usaha peternakan yg dinyatakan dl berat hidupnya (penimbangan ternak pd waktu masih hidup); -- bersih Ikn produksi total dikurangi jumlah ikan yg ditanam (dl ukuran berat); -- kotor jumlah keseluruhan bahan organik yg terbentuk dl satu waktu tertentu, termasuk yg langsung digunakan untuk proses metabolisme; -- massa pembuatan barang dl jumlah besar-besaran, biasanya dng mesin, baik yg berupa ulangan produk lama maupun produk yg coraknya telah diberi variasi, msl dl hal warna dan perlengkapannya; -- pertanian barang, baik berupa tanaman maupun hewan atau yg lain, yg dihasilkan oleh suatu usaha tani atau perusahaan pertanian; -- susu jumlah air susu yg dihasilkan oleh (perusahaan) ternak perah; -- telur jumlah telur yg dihasilkan oleh perusahaan peternakan dl waktu tertentu; -- telur per ekor jumlah telur yg dihasilkan oleh seekor ayam petelur sejak bertelur sampai dikeluarkan krn sudah kurang produktif; -- ternak jumlah ternak yg dihasilkan oleh perusahaan peternakan, biasanya hasil dl satu tahun;
ber·pro·duk·si v mengeluarkan hasil; menghasilkan: industri aluminium di Jayapura telah mulai ~;
mem·pro·duk·si v menghasilkan; mengeluarkan hasil: pabrik itu sedang mencoba semaksimal mungkin ~ tekstil yg bermutu sama dng mutu buatan luar negeri;
pem·ro·duk·si n 1 yg memproduksi; 2 alat untuk memproduksi;
pem·ro·duk·si·an n proses, cara, perbuatan memproduksi
produksi n 1) pabrikasi, pembuatan, penerapan, perakitan;
2) buatan, kreasi, produk;
memproduksi v melahirkan, membikin (cak), membuat, menciptakan, menelurkan, mengeluarkan, menghasilkan, mengilang, mereka cipta, memublikasikan


Product Line

                     Produk Line adalah sekelompok produk yang berhubungan erat karena mereka berfungsi dengan cara yang sama, dijual kepada kelompok pelanggan yang sama, dipasarkan melalui tipe yang sama dari outlet, atau jatuh dalam rentang harga yang diberikan.

Product Line -Length
Panjang lini produk menunjukkan jumlah produk yang berbeda dalam lini produk. Sebuah lini produk yang panjang memiliki banyak produk yang berbeda di dalamnya dan lini produk singkat memiliki sejumlah kecil produk yang berbeda. Pekerjaan manajer produk adalah untuk menentukan berapa banyak produk untuk memasukkan dalam lini produk. Jika ada jenis produk terlalu banyak dalam lini produk, mereka akan mulai bersaing satu sama lain, meningkatkan biaya yang tidak perlu dan bahkan membingungkan pelanggan. Jika lini produk yang terlalu pendek akan membatasi pilihan pelanggan dan mengirim pelanggan ke pesaing dengan pilihan produk yang lebih besar.

Product Line –Depth
Beberapa jenis produk dalam lini produk dapat dibagi lagi menjadi beberapa kelompok, kedalaman lini produk menunjukkan berapa banyak subkelompok lini produk mengandung. Misalnya Samsung telah membagi ponsel mereka ke dalam baris layar sentuh berikut produk, slider / folder, keyboard QWERTY dan telepon bar. Masing-masing lini produk dapat lebih dibagi menjadi subkelompok pada saat menulis artikel ini Samsung memiliki ponsel slider 7 seluler dan 32 ponsel layar sentuh ponsel, 32 adalah lini produk yang mendalam.

Product Line –Width
Adalah jumlah produk line yang telah dibagi bagi secara mendalam serta dalam suatu perusahaan itu membuat produk-produk yang berbeda manfaatnya. Misalnya unilever yang memiliki banyak produk yang berbeda-beda seperti rinso, sunsilk, dsb.


Contoh Perusahaan yang mengembangkan  Product Line
UNILEVER
Unilever adalah perusahaan multinasional yang memproduksi barang konsumen yang bermarkas di Rotterdam, Belanda. Perusahaan ini didirikan tahun 1930. Perusahaan ini mempekerjakan 206.000 pekerja. Memproduksi makanan, minuman, pembersih, dan konsumen pribadi. Beberapa merek terkenal milik Unilever adalah: Rinso, Sunsilk, Dove, dan Clear. Di Indonesia, Unilever bergerak dalam bidang produksi sabun, deterjen, margarin, minyak sayur dan makanan yang terbuat dari susu, es krim, makanan dan minuman dari teh, produk-produk kosmetik, dan produk rumah tangga.
Unilever Indonesia didirikan pada 5 Desember 1933 sebagai Zeepfabrieken N.V. Lever. Pada 22 Juli 1980, nama perusahaan diubah menjadi PT Lever Brothers Indonesia dan pada 30 Juni 1997, nama perusahaan diubah menjadi PT Unilever Indonesia Tbk. Unilever Indonesia mendaftarkan 15% dari sahamnya di Bursa Efek Jakarta dan Bursa Efek Surabaya pada tahun 1981.dan mempunyai lebih dari 1000 supplier.


Contoh bahwa Unilever Mengembangkan Product Line

Product Line –Length    : misalnya Produk Lifebuoy. Lifebuoy memiliki banyak jenis didalam brand  tersebut. Ada Lifebuoy Shampoo, Sabun Lifebuoy, Lifebuoy Hand Sanitizer,  dsb. Itulah yg dimaksudkan dengan product length yg dipisahkan jenis-jenis dalam produk atau brand yang sama.

Product Line –Depth : Misalnya Produk Lifebuoy. Didalam jenis Lifebuoy Soap, terdapat berbagai macam pembentukan atau jenis-jenis dalam sabun lifebuoy tersebut. Misalkan saja sabun Lifebuoy yang batangan, ada lagi sabun lifebuoy yang cair yang dipaketkan kedalam botol atau sachet. Jadi intinya adalah product line depth ini membagi suatu produk lebih dalam lagi.

Product Line –Width : Misalnya saja satu kesatuan perusahaan Unilever yang mana Unilever company telah meluncurkan banyak produk-produk yang berbeda manfaatnya. Seperti Rinso, Surf, Sunsilk, Lifebuoy, Molto, clear, blueband, Axe, dan masih banyak lagi. Keseluruhan jenis produk itulah yang dinamakan Product line –width.

  

Pengenalan Tim dan Crew pembuat film
Proses Produksi Film dapat dikatakan sebagai sebuah system, artinya antara komponen yang satu dengan yang lainnya saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Kegagalan pada salah satu proses akan menyebabkan sulitnya membuat film yang enak ditonton dan mempunyai kesinambungan yang utuh. Proses produksi yang dimulai dari adanya suatu ide yang kemudian dikembangkan dalam bentuk naskah dan akhirnya di visualisasikan menjadi sebuah bentuk film yang kemudian harus di evaluasi untuk mengetahui mutu dari film tersebut melibatkan orang – orang yang kompeten di bidangnya, berdedikasi tinggi dan mempunyai kemampuan untuk bekerjasama dalam tim yang baik.
Sebelum membuat cerita film, kita harus menentukan tujuan pembuatan film. Hanya sebagai hiburan, mengangkat fenomena, pembelajaran/pendidikan, dokumenter, ataukah menyampaikan pesan moral tertentu. Hal ini sangat perlu agar pembuatan film lebih terfokus, terarah dan sesuai. Mengembangkan naskah ke dalam program video siap pakai melalui tahapan-tahapannya : Tahap Pra Produksi, Tahap Produksi, Tahap Pasca Produksi. Dalam produksi film sangat erat kaitannya dengan kerabat kerja atau tim atau crew pelaksana pembuatan film dan deskripsi kerjanya masing-masing. Adapun tim tersebut dapat terdiri atas :

Produser
Sebutan ini untuk orang yang memproduksi sebuah film tetapi bukan dalam arti membiayai atau menanamkan investasi dalam sebuah produksi. Tugas seorang produser adalah memimpin seluruh tim produksi agar sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan bersama, baik dalam aspek kreatif maupun manajemen produksi dengan anggaran yang telah disetujui oleh executive producer. Dalam menjalankan tugasnya produser di bantu oleh asst. Produser.

Sutradara atau Director 
Orang yang mengontrol tindakan dan dialog di depan kamera dan bertanggung jawab untuk merealisasikan apa yang dimaksud oleh naskah dan produser.

Asst. Director
Seorang asisten sutradara film yang memperhatikan administrasi, hal yang penting sehingga departemen produksi selalumengetahui perkembangan terbaru proses pengambilan film. Ia bertanggung jawab akan kehadiran aktor/aktris pada saat dan tempat yang tepat, dan juga untuk melaksanakan instruksi sutradara.

Art Director
Pengarah artistik dari sebuah produksi.

Floor Director
Seseorang yang bertanggungjawab membantu mengkomunikasikan keinginan sutradara dari master control ke studio produksi.

Script Writer
Bertugas membuat Ide cerita, Pencetus atau pemilik ide cerita pada naskah film.

Penulis scenario
Bertugas menterjemahkan ide cerita ke dalam bahasa visual gambar atau skenario.

Cinematographer (Sinematografer)
Penata Fotografi. Orang yang melaksanakan aspek teknis dari pencahayaan dan fotografi adegan. Sinematografer yang kreatif juga akan membantu sutradara dalam memilih sudut, penyusunan, dan rasa dari pencahayaan dan kamera.

Cameramen
Bertugas mengambil gambar atau mengoperasikan kamera saat shooting.
First Cameraman sering disebut sebagai Penata Fotografi (Director of Photography) atau kepala kameramen, bertanggung jawab terhadap pergerakan dan penempatan kamera dan juga pencahayaan dalam suatu adegan. Kecuali dalam unit produksi yang kecil, Penata Fotografi tidak melakukan pengoperasian kamera selama syuting yang sesungguhnya.
  • Second Cameraman sering disebut sebagai asisten kameramen atau operator kamera, bertindak sesuai instruksi dari kameramen utama dan melakukan penyesuaian pada kamera atau mengoperasikan kamera selama syuting.
  • First Assistant Cameramen sering disebut Kepala Asisten untuk pada operator kamera. Seringkali bertanggung jawab untuk mengatur fokus kamera (untuk kamera film)
  • Second Assistant Cameraman, menjadi asisten operator kamera. 
  • Lighting, Bertugas mengatur Tata cahaya ( pencahayan dalam produksi film. 
Tata musik (Music Director) 
Bertugas membuat atau memilih musik yang sesuai dengan nuansa cerita dalam produksi
Tata Suara dan Sound Recorder
Bertugas membuat atau memilih atau merekam suara dan efek suara yang sesuai dengan nuansa cerita dalam produksi film.

Film Costume Designer
Bertugas membuat atau memilih kostum atau pakaian yang sesuai dengan nuansa cerita dalam produksi film.

Make up Artist
Bertugas mengatur make up yang sesuai dengan nuansa cerita dalam produksi film.
Tata Artistik atau Artistic Director
Bertugas membuat dan mengatur latar dan setting yang sesuai dengan nuansa cerita dalam produksi film.

Editor
Bertugas melakukan editing pada hasil pengambilan gambar dalam produksi film.

Kliper
Bertugas memberi tanda pengambilan shot dalam produksi film.
Script Supervisor, Script Clerk atau Pencatat Adegan
Bertanggungjawab untuk mencatat seluruh adegan dan pengambilan gambar yang diproduksi. termasuk semua informasi yang diperlukan seperti durasi, arah gerakan, pengarahan mimik wajah, penempatan aktor/aktris dan properti, serta gerakan fisik yang harus disesuaikan aktor/aktris dalam semua cakupan yang berurutan untuk kemungkinan pengambilan gambar ulang. Semua informasi ini dimasukkan dalam salinan naskah milik supervisi naskah dan digunakan oleh editor ketika tahap editing. Dalam salinan ini juga dimasukkan catatan dari sutradara untuk editor.

Casting
Bertugas mencari dan memilih pemain yang sesuai ide cerita dalam produksi film.

Agent (Agent Model)
Seseorang yang dipekerjakan oleh satu atau lebih talent agency atau serikat pekerja untuk mewakili keanggotaan mereka dalam berbegosiasi kontrak individual yang termasuk gaji, kondisi kerja, dan keuntungan khusus yang tidak termasuk dalam standard guilds atau kontrak serikat kerja. Orang ini diharapkan oleh para aktor/aktris untuk mencarikan mereka pekerjaan dan membangun karir mereka.

Art Departement
Bagian artistik. Bertanggung jawab terhadap perancang set film. Seringkali bertanggung jawab untuk keseluruhan desain priduksi. Tugasnya biasanya dilaksanakan dengan kerjasama yang erat dengan sutradara dan cameraman.

Dialogue Coach or Dialogue Director
Orang dalam set yang bertanggung jawab membantu para aktor/aktris dalam mempelajari kalimat mereka selama pembuatan film. Mungkin juga membantu pengaturan dialog saat.
Green Departement
Bertanggungjawab untuk menyediakan pepohonan, semak, bunga, rumput, dan benda-benda hidup lainnya baik yang asli maupun buatan dan juga sebagaia ahli dekorasi.


Sinopsis
Kalau film yang akan digarap berdasarkan dari gagasan yang dimulai dengan penentuan tema, maka Sinopsis merupakan pengembangan dari Dasar Cerita. Sinopsis kurang lebih adalah ringkasan cerita yang berisi:
  1. Garis besar jalan cerita.
  2. Tokoh protagonis.
  3. Tokoh antagonis.
  4. Tokoh penting yang menunjang plot utama/jalan cerita utama.
  5. Terdapat problem utama dan problem-problem penting yang berpengaruh pada jalan cerita.
  6. Motif utama dan motif-motif pembantu Action yang penting.
  7. Klimaks dan penyelesaian
  8. Kesimpulan.
Penjelasan dari poin-poin di atas adalah sebagai berikut:
1. Garis besar jalan cerita.
Meski cerita diuraikan secara ringkas, namun harus memperlihatkan alur cerita yang jelas.
2. Tokoh protagonis dan Tokoh antagonis.
  • Tokoh protagonis harus dijelaskan siapakah dia? Apa keinginannya? Apa kejelekannya? Kelebihannya? Bagaimana membuat simpati padanya?
  • Tokoh Antagonis harus dijelaskan siapa dia? Kenapa dia harus menghambat tokoh protagonis? Apa alasannya? Apa kemampuannya untuk membuat penonton antipati?
3. Tokoh penting yang menunjang plot utama/jalan cerita utama.
Tokoh-tokoh yang penting untuk menunjang plot utama atau alur utama. Teman Protagonis atau Antagonis. Penggambaran tokoh ini sudah harus jelas ketika tokoh ini membuat bagian penting dalam bergulirnya sebuah cerita.

4. Problem Utama

Harus terlihat problem utama yang melahirkan alur utama cerita. Problem utama itulah yang membuat sasaran perjuangan protagonis sampai akhir.
5. Motif utama
Penilaian atas motif utama sejalan dengan problem utama, yakni apakah motif utama mendorong protagonis melahirkan cerita memang sesuai dengan problem utama yang melahirkannya.
6. Klimaks dan Penyelesaian
Pencapaian klimaks merupakan hal yang amat penting untuk dinilai karena klimaks adalah puncak dari tangga dramatik. Jika diandaikan klimaks harus berada tepi tebing yang curam dan sangat berbahaya. Alur cerita harus membawa protagonis ke arah tebing yang berbahaya!
7. Kesimpulan
Apa yang ingin disampaikan dalam cerita harus bisa disimpulkan dalam sinopsis. Jika dalam sinopsis belum bisa disimpulkan maka perlu ada tambahan informasi yang jelas



Showreel Course
If you want to take that next step towards becoming a professional actor or you feel you need to relaunch your career and you don’t have time or wish to attend a formal training course such as the Screenwise 2 Year Full-time Diploma of Screen Acting, then you have to be realistic – you will need a current professional showreel to help get you there.
Screenwise boasts actors of the calibre of Todd Lasance (Spartacus, Cloudstreet), Tabrett Bethell (Legend Of The Seeker), Andy Whitfield (Spartacus), Chris Hemsworth (Thor), Isabel Lucas (Transformers), Ed Kavalee (Thank God You’re Here, NOVA 96.5), Ashleigh Cummings (Puberty Blues), Stef Dawson (Hungers Games Mockinjay 1 & 2), Meegan Warner (Turn) and Christian Clark (Home & Away) amongst its high profile students and graduates.Unlike other courses on offer, this course not only provides a top professional showreel, shot on location by professional directors which is then passed on to the major Casting Agencies on completion – the tuition and support provided by the school and it’s current industry working professional actors, directors and casting consultants for the duration of the course is second to none. Screenwise students have scored roles in Rake, Underbelly, Rescue, Crownies, Packed To The Rafters and countless TV Commercials while studying at Screenwise.
The Screenwise Showreel course is a part time, year long course that develops and refines screen acting skills required for a professional and competitive showreel.
In the final stages of the course, students prepare for their showreel shoot under the guidance of industry professionals. Course costs are all inclusive and cover tuition, showreel shoot, professional directors, editing and post production costs.
The Showreel course is an extremely popular course and due to it’s boutique style means places are strictly limited and it fills very quickly. So if you’re ready to be a professional actor and take the next step, then the Showreel Course is definitely for you.
Auditions for the Screenwise Showreel course are held each year from September till November for the January intake and May/June for the July intake. The course consists of two classes per week, 3 hours each in duration over four 10 week terms. Students can choose their preference of either 2 classes on one day or two evenings per week. (Applicants can choose their preference at the audition/interview. This option is only available until the classes are filled).  Entry is by audition only.
Audition Requirements are:
  • Prepared Film/TV monologue 1 minute in length (Applicants choice).
  • Prepared Film/TV scene (Screenwise choice).
All Screenwise tutors contracted for this course are prominent industry working professional Actors, Directors and Casting Consultants. Due to Screenwise Students being exposed to these professionals on an intimately regular basis throughout the course, providing students with rare networking opportunities is why Screenwise has become Australia’s leading film and TV school for actors.
Curriculum in Brief:
Term One
  • Script Analysis
  • Voice
  • Screen Acting & Performing
  • Characterisation
Term Two
  • Drama
  • Audition Technique
  • Comedy
  • Presenting
Term Three
  • Blocking
  • Props
  • Continuity
  • Rehearse/Record
  • Green Screen
Term Four
3. Anakronisme
1.Anakronisme adalah hal ketidakcocokan dengan zaman tertentu berupa penempatan tokoh, peristiwa percakapan, dan unsur latar yang tidak sesuai menurut waktu di dalam karya tulis.
  • JENIS-JENIS SPECIAL EFFECT DI FILM

Bikin film jadi seru? Pastinya...
                Film sukses bukan hanya karena akting aktor yang bagus, kawan. Film juga sukses dengan bantuan komputer, make up, kamera, dan jangan lupa soal special effect-nya. Berkat special effect kita bisa menyaksikan banyak hal yang tidak terbayangkan sebelumnya. Apa aja sih teknologi special effect yang ada? Ini dia infonya!

1.) Virtual Cinematography
Virtual Cinematography adalah efek khusus dalam film yang dibuat dengan komputer grafis. Bisa juga memotret obyek asli untuk dibuat obyek 3D digital sebagai kreasi virtual cinematography.
Cara kerjanya:
Hasil kreasi virtual 3 dimensi dimasukkan ke dalam mesin 3D bersama adegan yang diinginkan. Lalu kreasi virtual 3D ditambahkan ke adegan tadi. Bisa juga adegan yang sudah ditambahi kreasi virtual 3D tadi, difoto ulang untuk mendapatkan adegan dari sudut yang berbada.

2.) Digital Compositing
Merupakan cara penggabungan beberapa gambar menjadi satu. Bisa sama-sama berupa adegan atau adegan yang disatukan dengan efek khusus. Contoh penggabungan adegan misalnya pada film Forrest Gump dimana Forrest Gump berbicara dengan Presiden Nixon.
Cara kerjanya:
Menggunakan software khusus yang dapat memisah-misahkan adegan seperti lapisan demi lapisan lalu menumpuknya menjadi satu.

3.) Stop-Motion
Efek khusus yang memanipulasi benda menjadi terlihat bergerak dengan sendirinya. Misalnya di film Wallace And Gromit, karakter yang terdiri dari patung clay bisa bergerak dengan sendirinya.
Cara kerjanya:
Benda yang akan dibuat bergerak sebenarnya dibuat bergerak sedikit demi sedikit. Nah, gerakan demi gerakan kecil tadi difoto dengan seksama pada sudut yang sama. Lalu keseluruhan foto tadi diputar secara sekuen sehingga benda-benda tadi terlihat bergerak. Secara prinsip, tekhnik ini mirip animasi, kok. Benda yang digunakan untuk obyek bisa bermacam-macam tapi biasanya menggunakan clay sehingga sering juga disebut claymation alias clay animation.

4.) Prosthetic Make Up
Efek khusus pada film dengan menggunakan teknik-teknik make up sehingga didapatkan tampilan yang diinginkan pada aktor. Misalnya make up tokoh Mystique film X-Men.
Cara kerjanya:
Dibuat cetakan khusus dari bahan gypsum untuk wajah atau bagian tubuh yang diinginkan. Cetakan akan diisi silikon yang akan mengeras dan ditempelkan ke wajah atau bagian tubuh tertentu. Supaya lebih realistis, setelah ditempelkan di tubuh, nanti bahan silikon ini akan diwarnai lagi berbarengan dengan make up si aktor.

5.) Computer Generated Imagery
Computer Generated Imagery adalah efek khusus yang menggunakan perangkat lunak komputer 100% untuk menghasilkan gambar seperti benda asli. Misalnya pada film Toy Story,keseluruhan karakter dan setting dibuat dengan perangkat lunak komputer. Dengan CGI ini, pembuat film leluasa membuat setting apapun, misalnya setting pada film Lord of The Ring. Juga bisa mengcopy atau memperbanyak gambar obyek. Misalnya film 300, terlihat seperti film super kolosal yang melibatkan ratusan orang. Padahal orang yang terlibat enggak begitu banyak dan hanya di-copy berulang-ulang.



Cara kerjanya:
Dibuat dulu model obyek dengan clay yang akan dibuat dengan perangkat lunak komputer. Nantinya patung clay ini akan dianalisa komputer. Supaya gambar dapat bergerak, komputer animasi 3D menggabungkan model dari obyek dan gerakan yang sudah diprogram.

6.) Blue Screen/Green Screen
Aktor beraksi dengan menggunakan latar belakang biru atau hijau. Warna biru atau hijau dapat diganti dengan latar belakang lain, misalnya langit sehingga terkesan seperti terbang.



Cara kerjanya:
Sang aktor beraksi di depan kamera seperti gerakan yang diinginkan. Tapi ia berdiri di latar belakang berwarna biru atau hijau. Latar belakang warna biru dihilangkan untuk “ditempel” dengan adegan main, misalnya awan atau pemandangan tertentu. Si aktor jadi tampak terbang.

7.) Animatronics
Efek khusus yang menggunakan robot atau boneka yang digerakan secara elektronik atau robotic. Keunggulannya, lebih alami ketimbang CGI karena merupakan benda nyata.
Cara kerjanya:
Obyek yang diinginkan dibuat dengan teknologi animatronic. Misalnya dinosaurus atau monster. Nah, obyek ini biasanya berkulit silikon atau lateks yang diwarnai sehingga sangat mirip aslinya. Agar terlihat alamiah, dipakai teknologi robotik agar gerakannya mirip aslinya.

8.) Camera Slow/Camera Freeze
Efek khusus yang menimbulkan efek seperti kita bisa memutari sang aktor pada adegan tertentu. Misalnya pada film The Matrix.
Cara kerjanya:
Aktor berdiri di tenggah dan dalam posisi diam. Kamera disiapkan dalam jumlah banyak dan mengelilingi sang aktor. Saat “action!”, kamera secara bersamaan atau bergantian merekam. Gambar ini disatukan di komputer sehingga minimbulkan efek seperti kita mengelilingi si aktor.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar